Nama Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari tentu tidak asing lagi di telinga publik Indonesia. Sebagian orang mengenalnya lewat karakter Oneng dalam sinetron komedi Bajaj Bajuri yang melegenda di awal 2000-an

Baca juga : tol cipularang kembali menelan korban
Baca juga : makna kehidupan sederhana dalam rumah tangga
Baca juga : karier wakil bupati hengky kurniawan
Baca juga : Teknologi keberlanjutan inovasi ayam petelur
Baca juga : Bukit raya gunung misteri kalimatan
Baca juga : Manfaat memakan brokoli bagi jantung
bagi kalangan aktivis dan pengamat politik, sosok ini lebih sering dilihat sebagai politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang vokal memperjuangkan isu-isu kesehatan, tenaga kerja, serta keadilan sosial. Lebih jauh lagi, bagi kalangan akademisi, Rieke adalah contoh politisi yang tidak hanya sibuk dengan politik praktis, tetapi juga serius menggeluti dunia akademik hingga meraih gelar doktor di Universitas Indonesia dengan predikat cum laude.
Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil
Rieke lahir di Garut, Jawa Barat, pada 8 Januari 1974. Ia berasal dari keluarga Sunda yang sederhana. Sejak kecil, Rieke dikenal sebagai anak yang cerdas, kritis, sekaligus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Kehidupan di Garut yang masih kental dengan nuansa pedesaan, tradisi Sunda, serta nilai kekeluargaan membentuk kepribadian awalnya.
Dalam berbagai wawancara, Rieke kerap menyinggung bahwa pengalaman masa kecilnya di Jawa Barat membuatnya peka terhadap isu ketidakadilan sosial, khususnya ketimpangan antara kota dan desa. Hal ini kelak memengaruhi pilihan politik dan fokus perjuangannya di parlemen, terutama terkait pembangunan desa, data kependudukan, serta perlindungan pekerja migran.

Pendidikan: Dari Sastra Belanda ke Doktor Ilmu Komunikasi
Rieke menempuh pendidikan tinggi di Universitas Indonesia (UI) dengan mengambil jurusan Sastra Belanda. Pilihan ini cukup unik, sebab tidak banyak mahasiswa yang tertarik pada bidang studi tersebut. Namun, bagi Rieke, belajar bahasa dan sastra Belanda bukan hanya soal bahasa, melainkan juga membuka jendela pemahaman terhadap sejarah kolonialisme, relasi kuasa, dan warisan budaya yang masih terasa di Indonesia.
Setelah lulus S1, Rieke melanjutkan pendidikan S2 di bidang Filsafat, UI. Ketertarikannya pada filsafat memperkaya cara pandangnya terhadap kehidupan, terutama dalam membaca realitas sosial dan politik. Ia mendalami pemikiran para filsuf besar yang banyak membicarakan persoalan keadilan, kekuasaan, dan etika.
mendapat perhatian besar karena mengupas bagaimana negara menggunakan data pedesaan sebagai alat kekuasaan. Ia berargumen bahwa proses pendataan seringkali menghasilkan pseudo-data atau data semu, yang kemudian dipakai dalam kebijakan publik. Kondisi ini menciptakan semacam kekerasan simbolik terhadap masyarakat desa, karena kebijakan yang lahir dari data semu itu tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
Disertasi ini tidak hanya menjadi kontribusi akademik, tetapi juga refleksi langsung dari pengalamannya sebagai politisi yang kerap bersentuhan dengan persoalan data dan kebijakan sosial. Ia lulus dengan predikat cum laude, menjadikannya salah satu sedikit politisi yang menyeimbangkan karier politik dengan pencapaian akademik tinggi.
Karier di Dunia Seni Peran

http://www.damienmjones.com
Sebelum dikenal sebagai politisi, Rieke lebih dulu populer sebagai aktris. Karier aktingnya dimulai pada era 1990-an lewat iklan televisi. Salah satu iklan yang membuatnya dikenal luas adalah iklan kondom Sutra dengan gestur “meong” yang ikonik. Dari sana, ia mulai mendapat tawaran bermain di berbagai sinetron dan acara televisi.
Puncak kepopulerannya datang lewat peran Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri (2002–2007). Karakter Oneng digambarkan sebagai istri Bajuri yang cantik, manja, lugu, sekaligus kocak. Peran ini melekat begitu kuat hingga banyak orang masih memanggilnya Oneng, bahkan setelah ia masuk politik. Bagi Rieke, hal itu bukan masalah, sebab menurutnya karakter Oneng justru membuatnya dekat dengan masyarakat.
Selain di sinetron, Rieke juga menembus layar lebar. Dalam film Berbagi Suami (2006) karya Nia Dinata, ia berperan sebagai Dwi, seorang perempuan dalam relasi poligami. Peran ini membuktikan bahwa ia mampu tampil serius sebagai aktris film, bahkan membuatnya dinominasikan sebagai Aktris Pendukung Terbaik Piala Citra.
Tak hanya itu, ia juga aktif di teater, salah satunya dalam pementasan karya Putu Wijaya berjudul Cipoa pada tahun 2007. Teater baginya adalah ruang ekspresi yang lebih bebas, sekaligus sarana mengasah kemampuan intelektual melalui seni pertunjukan.
Perjalanan Politik: Dari Aktivis ke DPR
Awal Aktivisme
Rieke sudah aktif dalam gerakan mahasiswa sejak kuliah. Ia terlibat dalam diskusi-diskusi kritis dan organisasi yang peduli pada isu perempuan, buruh, dan masyarakat desa. Aktivismenya inilah yang menjadi pintu masuk ke dunia politik.
Masuk ke Partai
Awalnya, Rieke sempat bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Namun kemudian ia memilih berlabuh di PDI-P, partai yang menurutnya lebih sesuai dengan orientasi perjuangannya untuk wong cilik.
Karier di DPR
Sejak 2009, Rieke terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Ia duduk di Komisi IX yang membidangi kesehatan, ketenagakerjaan, dan transmigrasi. Fokusnya konsisten pada isu-isu yang menyentuh langsung kehidupan rakyat, seperti:
- Perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) atau pekerja migran.
- Akses kesehatan yang adil dan terjangkau.
- Kebijakan ketenagakerjaan yang berpihak pada buruh.
- Isu pembangunan desa dan pemerataan.
Ia dikenal sebagai anggota DPR yang kritis dan berani bersuara, bahkan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-rakyat, meskipun berasal dari partainya sendiri.
Pencalonan Gubernur Jawa Barat 2013
Pada tahun 2013, Rieke maju sebagai calon Gubernur Jawa Barat berpasangan dengan Teten Masduki, seorang aktivis antikorupsi. Pasangan ini dikenal dengan akronim “PATEN” (Pitaloka-Teten). Kampanye mereka menekankan isu keadilan sosial, pemberantasan korupsi, dan pembangunan berbasis rakyat.
Meski kalah dalam pemilihan, langkah Rieke ini menunjukkan keberaniannya untuk terjun langsung ke arena politik lokal dengan tanggung jawab besar.
Akademisi di Dunia Politik
Tidak banyak politisi yang serius menggeluti akademik hingga tingkat doktoral. Rieke adalah pengecualian. Ia membuktikan bahwa politik tidak harus meninggalkan dunia intelektual.
Melalui penelitian dan disertasinya, ia menyoroti hubungan antara data, kebijakan publik, dan kekuasaan negara. Baginya, data bukan sekadar angka, melainkan representasi realitas sosial. Jika data itu salah, maka kebijakan yang lahir pun akan salah arah, dan masyarakat yang menjadi korban.
Pandangan ini relevan dengan banyak perdebatan kontemporer di Indonesia, misalnya soal data kemiskinan, bantuan sosial, hingga digitalisasi administrasi kependudukan.
Kehidupan Pribadi
Pada tahun 2005, Rieke menikah dengan Donny Gahral Adian, seorang dosen filsafat UI. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai tiga anak:

- Sagara Kawani Hadiasyah (lahir 2009).
- Misesa Adiansyah (kembar, lahir 2011).
- Jalumanon Badrika (kembar, lahir 2011).
Namun, rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian pada tahun 2015. Meski begitu, Rieke tetap dikenal sebagai sosok ibu yang dekat dengan anak-anaknya.
Penghargaan, Kontroversi, dan Catatan Publik
Penghargaan
- Nominasi Piala Citra Aktris Pendukung Terbaik untuk film Berbagi Suami.
- Gelar doktor cum laude dari Universitas Indonesia (2022).
Kontroversi
Sebagai politisi vokal, Rieke tidak lepas dari kontroversi. Salah satu yang mencuat adalah ketika ia menolak kenaikan PPN menjadi 12%, yang membuatnya dipanggil oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Baginya, keberpihakan kepada rakyat kecil lebih penting dibanding mengikuti garis partai.
Refleksi: Antara Seni, Politik, dan Akademik

Kisah hidup Rieke menunjukkan bahwa seseorang bisa menjalani banyak peran sekaligus: aktris, akademisi, dan politisi. Ia membuktikan bahwa popularitas bisa dijadikan modal politik, namun tidak berhenti di sana — ia memperkuatnya dengan intelektualitas dan konsistensi perjuangan.
Di mata publik, ia mungkin masih “Oneng” yang polos dan lucu. Namun, di parlemen dan kampus, ia adalah doktor ilmu komunikasi yang kritis terhadap kebijakan negara.
Leave a Reply